Monday, September 3, 2018

Membangun Budaya Literasi

Pendidikan yang berkualitas menjadi kebutuhan penting di era persaingan global yang kian kompetitif. Para pengambil kebijakan di tingkat pusat pastinya sudah menyadari akan hal tersebut. Untuk menjadikan dunia pendidikan berkualitas, tentu sangat banyak faktor yang berkaitan dan saling mempengaruhi. Salah satu upaya pemerintah menjadikan pendidikan berkualitas adalah melalui meningkatkan budaya literasi (membaca dan menulis). Pemerintah melalui Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 telah menyadari pentingnya penumbuhan karakter peserta didik melalui kebijakan membaca selama 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Namun untuk menyukseskan rencana besar ini, tidak bisa instant dan bersifat temporary. Yang akan dibangun itu adalah kebiasaan, maka dibutuhkan suatu pembiasaan yang harus terus menerus dilakukan sejak usia dini dan untuk itu konsistensi sangat diperlukan. Semua elemen bangsa ini harus menyadari bahwa budaya baca-tulis bangsa kita saat ini sangat rendah. Sejak era kecanggihan teknologi saat ini, maka hal yang menjadi daya tarik bagi anak-anak kita bukanlah lagi buku, namun gawai, dan televisi. Coba saja lihat di rumah kita dan lingkungan sekitar. Anak-anak merunduk bermain game atau aktif di dunia medsos melalui gawainya . Sudah jarang sekali membaca buku-buku baik pelajaran, komik, buku pengetahuan umum atau jenis buku apa pun. Saya masih ingat kenangan masa kecil, dimana bahan bacaan untuk anak ketika itu cukup mudah dijumpai dan marak, meski didominasi dari bahan bacaan impor. Namun setidaknya cukup mendorong minat baca pada anak anak ketika itu. Untuk menumbuhkan budaya membaca di masyarakat, kita bisa meniru negara Vietnam. negara ini pernah mengalami konflik perang saudara berkepanjangan, dan saat ini sudah lebih dulu menyadari pentingnya mereformasi dunia pendidikannya melalui membaca. Melalui metode gerakan masyarakat mengumpulkan donasi dan buku, serta menyebarkan melalui pendirian perpustakaan di seluruh pelosok negara tersebut. Dan kita bisa melihat hasilnya saat ini yaitu kemajuan negara Vietnam yang cukup pesat di Asia Tenggara. Indonesia tidak boleh kalah dalam hal ini, karena mengingat sumberdaya manusia Indonesia sangat berpotensi menjadi yang terdepan tidak hanya di kawasan Asia Tenggara, namun di lingkup Asia bahkan Dunia. Untuk itu, gerakan literasi yang sekarang ini marak, tidak hanya dibebankan tanggung jawabnya kepada pemerintah semata. Karena untuk membangun suatu kebiasaan justru dimulai dari unit terkecil di masyarakat yaitu keluarga. Saya belum memiliki data ilmiah tentang upaya penumbuhan budaya membaca di keluarga, tapi saya meyakini bahwa keluarga di Indonesia (baik di perkotaan, apalagi di pedesaan), masih belum sepenuhnya menyadari pentingnya budaya membaca apabila dilihat dari indikator persentase pengeluaran keluarga untuk membeli buku. Dari indeks membaca, rata-rata penduduk Indonesia hanya membaca 4 judul buku setahun dan masih jauh dari standar UNESCO yaitu 7 judul buku dalam setahun. Indonesia masih memiliki peringkat yang rendah dalam indeks membaca. Dari 65 negara Indonesia berada pada peringkat 60 dan masih di bawah Malaysia. Berdasarkan data tersebut, sudah bisa terlihat bahwa Indonesia masih jauh ketinggalan dari negaranegara lain, bahkan dari Malaysia yang konon puluhan tahun lalu, banyak mengimpor guru dari Indonesia, dan berguru pada bangsa kita, namun mengapa sekarang Indonesia ketinggalan? Miris. Selain di keluarga, membangun budaya membaca harus dimulai dari Sekolah. Mengapa Sekolah? Karena sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan yang berperan sangat penting bagi pengembangan potensi sumber daya manusia. Namun harus kita akui secara jujur, bahwa secara umum kegiatan intelektual membaca dan menulis belum menjadi tradisi di sekolah. Bahkan di lingkungan sekolah yang notabene merupakan sebuah komunitas akademik, kegiatan membaca dan menulis di kalangan guru maupun siswa masih rendah. Mungkin tradisi membaca dan menulis masih agak lumayan muncul di kalangan perguruan tinggi. Padahal sejak jaman Belanda, tradisi intelektual ini sudah dimunculkan sejak tingkat sekolah. Siswa AMS (sekolah Belanda) diwajibkan harus membaca 25 judul buku sebelum mereka lulus. Dengan kebijakan seperti itu kita bisa melihat hasilnya yaitu tradisi intelektual yang kuat dari para tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan yang mencicipi sistem persekolahan Belanda tersebut. Saat ini tradisi membaca dan menulis harus terus dikembangkan mengingat bahwa melalui membaca, maka kemajuan pendidikan akan lebih pesat. Kemudian melalui kegiatan menulis, ide, gagasan, serta ilmu pengetahuan akan terus berkembang. Melalui tulisan ide dan gagasan, akan lebih dikenang sepanjang masa dibandingkan hanya terucapkan secara lisan yang mudah hilang selepas gagasan tersebut dilontarkan. Kebiasaan membaca dan menulis harus terus ditumbuhkan di sekolah-sekolah sebagai dunia akademik, mengingat saat ini pemerintah telah mengeluarkan peraturan bahwa guru yang akan naik pangkat dituntut harus menghasilkan karya tulis. Jauhkan cara-cara yang tidak bermartabat sebagai pendidik melalui budaya plagiat atau men-subkontrakkan pembuatan karya tulis pada pihak-pihak penjual jasa pembuatan karya tulis yang marak iklannya di berbagai media online. Dengan memiliki keterampilan menulis, maka guru akan menghemat pengeluaran dalam pembuatan karya tulis dan lebih memiliki rasa percaya diri dan menjaga harkat dan martabat diri. Dibutuhkan visi dan misi yang sama dari komponen masyarakat yang ada untuk membangun koalisi literasi. Koalisi ini dibutuhkan sebagai perekat untuk menyatukan kepingan potensi yang terserak sehingga gerakan membaca dan menulis dimulai dari sebuah gerakan skala mikro masyarakat di tingkat daerah hingga menjadi gerakan skala makro di tingkat nasional. Untuk percepatan terbentuknya koalisi budaya membaca dan menulis ini, nampaknya dibutuhkan kesungguhan dari para pengambil kebijakan (pemerintah) hingga masyarakat agar kebiasaan membaca dan menulis ini menjadi suatu kebutuhan baik di tingkat keluarga, sekolah, dan masyarakat. Kunci keberhasilan terletak pada kesungguhan dengan menghilangkan ego sektoral dengan merasa dirinya yang paling berhak, dan mulai saling bergandeng tangan untuk berbuat apa saja yang dapat kita lakukan, berkontribusi sekecil apa pun dari semua elemen masyarakat. Saya meyakini bahwa maju mundurnya program literasi bukan terletak di tangan pemerintah semata namun sinergi dengan masyarakat. Kesuksesan gerakan membaca dan menulis ini bukan tanggung jawab saya, atau Anda, tapi tanggung jawab kita. Melalui kerja bersama-sama, maka apa pun kesulitannya akan menjadi mudah untuk dilalui. Cara-cara yang dapat ditempuh untuk menumbuhkan budaya membaca dan menulis di lingkungan keluarga adalah: Kebiasaan memberi hadiah kepada anak berupa buku, sering mengajak anak jalan-jalan ke pameran atau toko buku, sisihkan sedikit pengeluaran untuk membeli buku minimal enam bulan sekali, orangtua sebagai role model dengan sering membaca dan menulis di rumah. Hal yang dapat dilakukan di lingkungan masyarakat, antara lain dengan: Mendirikan banyak komunitaskomunitas yang peduli literasi, Membangun sebanyak mungkin perpustakaan atau taman bacaan masyarakat dari mulai tingkat RT/RW. Di lingkungan sekolah, gerakan membaca dapat dilakukan dengan mengoptimalkan kembali fungsi perpustakaan di tiap sekolah sejak tingkat Pra Sekolah (TK) hingga Sekolah Menengah. Letakkan posisi perpustakaan pada tempat strategis di lingkungan sekolah yang mudah dilihat, terjangkau, dan menyenangkan. Selama ini posisi perpustakaan di setiap sekolah nampaknya lebih banyak di tempat-tempat yang tersembunyi, sehingga jarang dikunjungi peserta didik. Untuk mendorong menumbuhkan kebiasaan membaca dan menulis bagi guru, maka pemerintah harus mengeluarkan kebijakan untuk memberikan kemudahan bagi guru dalam memperoleh dan mengakses buku-buku. Berikan diskon harga khusus bagi guru-guru dalam membeli buku, dan berikan insentif untuk membantu mendorong penerbitan buku-buku yang ditulis oleh guru. Para guru hendaknya menjadi role model bagi peserta didik dengan banyak menghasilkan karya berupa artikel ilmiah, populer, maupun buku-buku. Selain itu, para kepala sekolah dan pengawas memberikan contoh dan teladan bagi para guru dengan banyak berkarya dan menghasilkan berbagai artikel tulisan dan buku-buku. Hal ini menjadi motivasi dan inspirasi yang penting bagi para guru. Memang kebiasaan membaca tidak mudah untuk ditumbuhkan di zaman ini, mengingat jaman kecanggihan teknologi saat ini, ketertarikan anak-anak lebih kepada medi daripada kepada buku, kemudian waktu anak lebih banyak dihabiskan di depan televisi dibandingkan untuk membaca. Namun saya meyakini, bahwa melalui gerakan bersama dari seluruh elemen masyarakat, maka suatu saat gerakan literasi ini akan menunjukkan keberhasilan dalam menumbuhkan budaya membaca yang pesat pada bangsa ini, sehingga kualitas sumber daya manusia Indonesia akan meningkat dan sejajar dengan negara maju di dunia. Literasi bukanlah urusan saya dan Anda, tetapi literasi adalah urusan kita. Kalau bukan kita siapa lagi? Kalau bukan sekarang kapan lagi? Dan mau menunggu sampai kapan?

No comments:

Post a Comment